Anemia pada Anak dan Remaja: Hubungannya dengan Stunting

Article 23 Sep 2025 |
Penulis : Risda Monica, S.Gz., Dietisien
|
Editor : Salma Fitri
Anak melakukan transfusi darah akibat anemia

Anemia cukup sering dialami anak dan remaja. Tandanya bisa berupa tubuh lemas, mudah lelah, atau susah konsentrasi. Dampaknya bukan hanya terasa sehari-hari, tetapi juga bisa berkaitan dengan masalah pertumbuhan seperti stunting.

Apa itu Anemia?

Anemia sering disebut juga sebagai “kurang darah”, meski istilah medisnya lebih tepat kadar hemoglobin (Hb) dalam darah terlalu rendah. Hemoglobin bertugas membawa oksigen ke seluruh tubuh. Jika kadarnya kurang, otomatis tubuh kekurangan oksigen, sehingga aktivitas sehari-hari pun bisa terganggu.

Pada anak dan remaja, anemia artinya kadar Hb mereka lebih rendah dari batas normal sesuai usia. Kondisi ini perlu diwaspadai karena mereka sedang berada di fase pertumbuhan yang pesat.

Mengapa Kondisi Anemia Mengkhawatirkan?

Kekurangan hemoglobin membuat tubuh kekurangan oksigen. Akibatnya, anak sulit konsentrasi di sekolah. Dalam jangka panjang, anemia dapat menurunkan prestasi belajar, menghambat perkembangan otak, melemahkan daya tahan tubuh, hingga meningkatkan risiko stunting. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini bahkan bisa berlanjut sampai dewasa dan memengaruhi kualitas hidup serta produktivitas seseorang.

Dampak Anemia

Anemia tidak hanya memengaruhi fisik, tetapi juga perkembangan kognitif, neurologis, bahkan sosial-emosional. Beberapa dampaknya antara lain:

1. Pertumbuhan Fisik Terganggu

Anemia kronis dapat menghambat pertumbuhan tinggi badan dan berat badan pada anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan anemia cenderung memiliki ukuran pertumbuhan lebih rendah dibandingkan anak yang sehat.

2. Perkembangan Kognitif dan Neurologis Terganggu

Kekurangan zat besi sejak dini bisa mengganggu perkembangan otak. Dampaknya terlihat pada kemampuan memori, konsentrasi, dan belajar. Anak dengan anemia terbukti punya nilai lebih rendah pada tes kognitif maupun motorik dibandingkan anak sehat. (Anshuman, et al. 2023)

3. Perkembangan Sosial-Emosional Terganggu

Anemia juga dapat memengaruhi perilaku anak, misalnya mudah marah, cepat lelah, dan berkurangnya minat untuk berinteraksi. Kondisi ini dapat menghambat perkembangan sosial-emosional serta kemampuan anak dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya.

Jenis-Jenis Anemia

Anemia bisa terjadi karena berbagai penyebab, terutama terkait kekurangan gizi tertentu. Beberapa jenis yang paling sering ditemui antara lain:

1. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi karena tubuh kekurangan zat besi, yaitu mineral penting untuk membuat hemoglobin. Pada anak-anak dan remaja, kondisi ini biasanya disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi dari makanan, kebutuhan zat besi yang meningkat saat mereka tumbuh, gangguan penyerapan di saluran cerna, serta adanya perdarahan yang berlangsung lama.

Pencegahan Anemia Defisiensi Besi

Berikut tips untuk mencegah anemia defisiensi besi:

  1. Mengonsumsi makanan kaya zat besi, seperti hati ayam, daging merah, sayuran hijau tua, dan kacang-kacangan.

  2. Memanfaatkan makanan yang difortifikasi zat besi, contohnya sereal bayi.

  3. Memberikan suplementasi zat besi sebagai pencegahan pada bayi usia 4 bulan ke atas yang berisiko dan juga remaja putri.

  4. Melakukan pengobatan cacing secara rutin setiap 6 bulan di daerah endemis.

Penanganan Anemia Defisiensi Besi

Anak-anak dan remaja lebih mudah mengalami anemia defisiensi besi (ADB) karena kebutuhan zat besi meningkat saat masa pertumbuhan. Jika sudah terjadi, sebaiknya segera diatasi. Berikut merupakan tatalaksana penanganan anemia defisiensi besi:

  1. Suplementasi zat besi oral diberikan dalam bentuk ferrous sulfate dengan dosis 3–6 mg/kgBB per hari, dibagi menjadi 2–3 kali, biasanya selama 3 bulan atau hingga kadar hemoglobin normal kembali.

  2. Vitamin C sebaiknya diberikan bersamaan dengan zat besi karena dapat meningkatkan penyerapan di dalam tubuh.

  3. Transfusi darah hanya diperlukan pada kasus anemia berat dengan kadar Hb kurang dari 5 g/L yang disertai gejala hipoksia.

  4. Evaluasi penyebab juga harus dilakukan, misalnya mencari adanya perdarahan kronis akibat cacingan atau masalah saluran cerna, pola makan yang kurang tepat, atau gangguan penyerapan zat besi.

2. Anemia Megaloblastik

Anemia Megaloblastik terjadi saat tubuh kekurangan vitamin B12 atau asam folat, yang penting untuk pembentukan DNA sel darah. Akibatnya, sel darah merah jadi besar tapi tidak matang, sehingga tidak bisa berfungsi optimal.

Anemia megaloblastik pada anak dan remaja biasanya terjadi karena tubuh tidak bisa menyerap vitamin B12 dan asam folat dengan baik, misalnya pada kondisi malabsorpsi atau penyakit celiac. Risiko juga meningkat pada anak yang menjalani diet vegetarian ketat tanpa tambahan suplemen vitamin B12. Gejalanya bisa berupa cepat lelah, wajah tampak pucat, hingga gangguan saraf atau fungsi neurologis.

Pencegahan Anemia Megaloblastik

Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Mengonsumsi makanan kaya vitamin B12 dan asam folat, seperti hati, telur, ikan, susu, serta sayuran hijau untuk mendukung pembentukan sel darah.

  2. Memanfaatkan program fortifikasi makanan, misalnya fortifikasi asam folat dan vitamin B12 pada bahan pangan pokok yang telah dijalankan secara nasional.

  3. Mengikuti penyuluhan gizi seimbang, terutama bagi keluarga dengan anak usia dini, agar orang tua lebih memahami pentingnya asupan vitamin untuk pertumbuhan dan pencegahan anemia.

Penanganan Anemia Megaloblastik

Penatalaksanaan medis pada anemia megaloblastik bertujuan untuk memperbaiki kekurangan vitamin yang mendasari serta mengatasi faktor penyebabnya. Tindakan yang dapat dilakukan meliputi:

  1. Pemberian vitamin B12, yaitu melalui injeksi cyanocobalamin dosis 1000 mcg secara intramuskular setiap minggu selama 6–8 minggu, kemudian dilanjutkan dengan pemberian bulanan.

  2. Suplementasi asam folat, diberikan secara oral dengan dosis 1 mg per hari selama 4–6 minggu untuk membantu pemulihan pembentukan sel darah merah.

  3. Identifikasi penyebab, dengan mengevaluasi apakah anemia disebabkan oleh pola makan vegan yang ketat, gangguan penyerapan nutrisi, atau adanya kelainan metabolik tertentu.

3. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah kondisi ketika sel darah merah hancur lebih cepat dibandingkan kemampuan tubuh untuk memproduksinya kembali. Keadaan ini dapat disebabkan oleh faktor bawaan, seperti sferositosis herediter dan kekurangan enzim G6PD, maupun faktor yang didapat, misalnya anemia hemolitik autoimun atau akibat infeksi tertentu.

Pencegahan Anemia Hemolitik

Pencegahan anemia hemolitik pada anak dapat dilakukan melalui berbagai langkah yang bertujuan untuk mengurangi risiko kerusakan sel darah merah sejak dini. Upaya pencegahan tersebut antara lain:

  1. Melengkapi imunisasi anak, termasuk vaksinasi terhadap malaria bagi mereka yang tinggal di daerah endemis.

  2. Melakukan skrining pada bayi baru lahir untuk mendeteksi lebih awal adanya kelainan darah seperti defisiensi enzim G6PD atau penyakit sel sabit.

  3. Menghindari faktor pemicu, seperti konsumsi kacang fava, paparan infeksi tertentu, maupun penggunaan obat-obatan yang dapat memicu hemolisis.

Penanganan Anemia Hemolitik

Penanganan pada anemia hemolitik disesuaikan dengan tingkat keparahan dan penyebab yang mendasarinya. Beberapa pilihan terapi yang dapat diberikan antara lain:

  1. Transfusi darah pada kondisi anemia berat yang berisiko mengancam jiwa.

  2. Pemberian steroid, seperti prednison dengan dosis sesuai berat badan, khususnya pada kasus anemia hemolitik autoimun.

  3. Menggunakan obat anti-malaria apabila hemolisis terjadi akibat infeksi malaria.

  4. Splenektomi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemolisis kronis yang tidak membaik dengan terapi lain.

  5. Menghindari pemicu, seperti obat-obatan tertentu, terutama pada anak dengan defisiensi enzim G6PD.

Hubungan Anemia dengan Stunting

Anemia, terutama anemia defisiensi besi, punya kaitan erat dengan kejadian stunting. Kekurangan zat besi dapat mengganggu metabolisme, sintesis DNA, dan fungsi enzim penting bagi pertumbuhan linear. Penelitian menunjukkan anak dengan anemia defisiensi besi punya risiko lebih tinggi mengalami stunting dibanding anak dengan status besi normal.

Selain itu, anemia membuat anak mudah lelah dan kurang nafsu makan, sehingga asupan gizinya tidak tercukupi. Daya tahan tubuh pun melemah, anak lebih sering sakit, dan infeksi berulang semakin menghambat penyerapan zat gizi. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang berujung pada hambatan pertumbuhan.

Studi lain menunjukkan bahwa remaja putri yang pernah mengalami anemia lebih berisiko mengalami anemia saat hamil. Kondisi ini dapat meningkatkan kemungkinan akan melahirkan anak yang stunting.

Hal ini didukung dengan adanya teori “siklus malnutrisi antar generasi”, yaitu masalah gizi yang dimulai sejak masa remaja, berlanjut pada masa kehamilan, lalu memengaruhi tumbuh kembang anak. Jika anemia pada remaja tidak ditangani dengan baik, cadangan zat besi saat hamil menjadi rendah, sehingga pertumbuhan janin terganggu dan bayi lahir dengan status gizi yang kurang optimal.

Kesehatan Anak

ic-brand
Tunggu sebentar